Jakarta - Total transaksi pembelian obat oleh Pemprov DKI Jakarta melalui e-katalog menunjukkan nilai transaksi yang belum ideal. Padahal, besaran transaksi pembelian produk ini—untuk satu rumah sakit besar di Jakarta—ditaksir bisa mencapai Rp. 25—34 miliar. Temuan ini didapatkan dari selisih data pembelian obat yang diumumkan LKPP dan data potensi pembelian yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta.
Kepala LKPP Agus Prabowo mencontohkan, data transaksi e-purchasing pembelian obat yang dilakukan oleh Rumah Sakit Daerah Koja hanya berkisar Rp. 4,4 miliar, “Sedangkan Rumah Sakit Daerah Tarakan hanya tercatat senilai Rp. 709 juta saja.” Katanya dalam acara evaluasi pelaksanaan pengadaan obat di lingkungan dinas dan rumah sakit Pemprov DKI Jakarta, di Balai Kota, Rabu (4/11).
Pada kenyataannya, praktik pengadaan obat di luar mekanisme e-purchasing LKPP masih marak dilakukan pejabat-pejabat pengadaan di RSUD Jakarta. Salah seorang pejabat rumah sakit beralasan bahwa sistem e-purchasing v.3 belum menyediakan data obat, sedangkan username tidak dapat mereka gunakan untuk mengakses e-purchasing v2. Selain itu, mereka juga beralasan bahwa obat yang dibutuhkan tidak tersedia, harga obat di katalog lebih mahal, dan pengiriman permintaan obat yang sangat lama.
Terkait dengan hal ini, Agus merinci beberapa hal yang menjadi penyebab ketidakefektifan pembelian obat melalui e-katalog. “Yang pertama yang namanya rencana kebutuhan obat atau RKO itu adalah acuan yang disusun oleh Kementerian Kesehatan, tapi acuan ini ternyata tidak 100% akurat sehingga sering kali menjadi bias,” kata Agus.
Meskipun pengumpulan data atas kebutuhan obat sudah dilakukan, pada praktiknya penyedia sering tidak dapat memenuhi permintaan. “Sering menjadi alasan, seolah-olah obatnya habis ketika dibeli melalui e-purchasing,” tegasnya.
Sementara itu, manajemen persediaan obat yang dilakukan oleh banyak puskesmas dan rumah sakit masih belum efektif meng-cover besaran susut persediaan obat. Di sisi lain, penyedia juga memerlukan waktu dalam manajemen persediaan. “Manajemen pengadaan pembelian obat, terutama di rumah sakit, itu masih sporadis. Pembeliannya sering mendadak. Obat sudah habis, baru pesan; atau obat tinggal satu atau tiga hari, baru pesan,” terang Agus.
Hal ini semakin diperparah oleh rantai bisnis antara penyedia, sole agent, dan distributor. Sebab, pengiriman obat sering kali tidak langsung ditujukan kepada pembeli, melainkan melalui distributor atau sole agent yang bermitra dengan penyedia obat. Padahal, distributor kadang-kadang melakukan penahanan obat untuk keperluan bisnis.
Adapun tanggal kedaluwarsa produk obat masih dipermasalahkan oleh dinas terkait. Menurut Agus, hal ini sebenarnya dapat diatasi melalui mekanisme pembelian obat di e-katalog. Sebab, e-purchasing memungkinkan pemerintah untuk melakukan pembelian secara bertahap, tentunya dengan mekanisme manajemen persediaan yang tepat. “Dengan e-katalog konsep expiration date itu sebenarnya sudah menjadi hilang karena tidak menuhin lagi. (manajemen) Stock-nya ada di penyedia,” papar Agus.
Hal terakhir, mekanisme pembayaran masih belum dapat mengakomodasi keinginan penyedia sehingga penyedia acap kali melakukan wanprestasi. “Kebanyakan, mekanisme pembayaran atau payment yang sering mengakibatkan wanprestasi, telat bayar, dan kekecewaan ketika sudah dipesan namun tiba-tiba batal,” pungkasnya.
0 Response to "Rumah Sakit DKI Belum Maksimal Belanja Obat Lewat E-Katalog, Berikut Penyebab Ketidakefektifan Pembelian Obat Melalui E-katalog"
Posting Komentar