Jakarta - Lelang dalam jasa konstruksi adalah suatu hal yang sangat kompleks, terutama yang terkait dengan penentuan harga perkiraan sendiri (HPS) dan skema kontrak. Perbedaan metode perhitungan dapat menimbulkan hasil yang berbeda. Apalagi, item yang menjadi variabel perhitungan sangatlah banyak. Lalu bagaimana kaitan HPS dengan pengadaan jasa konstruksi oleh pemerintah?
(Baca Juga : Pengertian Harga Perkiraan Sendiri dan Dasar Penyusunannya)
Kesalahan dalam penentuan nilai HPS sering kali menjadi dasar dalam memberikan catatan hasil audit. Jika hal ini dianggap menimbulkan kerugian negara, tentu dapat dikriminalisasikan.
“Kesalahan dalam membuat HPS ujung-ujungnya bisa dipenjara,” kata Direktur Penanganan Permasalahan Hukum R. Fendy Dharma Saputra, pekan lalu (28/08) di kantor LKPP di Jakarta. Oleh sebab itu, perhitungan estimasi biaya proyek untuk menentukan besaran HPS menjadi sangat penting dalam konteks ini.
(Baca Juga : Permasalahan yang biasanya terjadi dalam Pengadaan Barang/Jasa)
Perwakilan PT Langdon dan Seah Indonesia, Clara Tihes Andjarwati menjelaskan, proses penaksiran biaya konstruksi dapat dilakukan dengan menganalisis konsep desain yang notabene merupakan informasi luas area secara global. Perhitungan estimasi biaya pada tahap awal ini, menurut Clara, dapat menghasilkan perkiraan harga satuan kotor per meter persegi.
“Setelah tahap design concept, biasanya konsultan akan memperbaiki gambar tersebut menjadi schematic design,” lanjutnya. Penaksiran biaya konstruksi akan pada tahap ini akan memberikan nilai perkiraan yang lebih jelas. Sebab, perhitungan ini tidak lagi berdasarkan pada satuan luas secara global, melainkan telah memperhitungkan elemen-elemen.
Sementara itu, pada tahap pengembangan desain, pihak pengembang akan kembali membuat estimasi. Informasi perhitungan estimasi tersebut didasari atas gambar pengembangan, kuantitas pekerjaan, dan harga satuan pekerjaan.
“Dengan estimasi pada tahap pengembangan desain ini, (perkiraan biaya) kita sudah tidak mungkin melenceng terlalu jauh dari harga saat tender,” terangnya.
Oleh karena itu, estimasi biaya pada tahap ini sering kali dijadikan sebagai patokan besaran anggaran pada masing-masing paket pekerjaan.
Clara mengakui bahwa estimasi akan kembali dilakukan ketika gambar tender telah diumumkan. Menurutnya, pelaksanaan estimasi akan membutuhkan lebih banyak ketelitian karena informasi gambar dan spesifikasi sudah sangat detail. Estimasi inilah yang pada akhirnya sering digunakan sebagai HPS.
Dalam kaitan dengan harga satuan pekerjaan, komponen yang perlu diperhitungkan meliputi material, peralatan, upah, profit, dan penambahan biaya. Adapun komponen material juga harus mencakup biaya penanganan limbah yang dihasilkan.
Untuk proyek yang harus dikerjakan melalui skema tahun jamak, menurut Clara, pemerintah dan pengembang dapat memasukkan variabel inflasi dalam perhitungannya.
Sementara itu, standar metode pengukuran dalam penaksiran biaya produksi dapat disesuaikan dengan acuan yang dipilih. Dalam hal ini, penyamaan penggunaan metode pengukuran sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dan pihak pengembang agar hasil estimasi mudah diperbandingkan.
Di luar harga satuan dan metode pengukuran tersebut, nilai paket yang ditawarkan kontraktor memang sangat dipengaruhi oleh skema kontrak. “Jika kontrak yang digunakan measurement contract, mereka (pengembang) tidak lagi memikirkan risiko salah perhitungan di awal,” kata Clara.
Namun demikian, skema kontrak yang sering diterapkan di Indonesia, lanjut Clara, justru lebih banyak menggunakan lump sum contract. Sebab, menurutnya, pihak pemilik proyek—dalam hal ini pemerintah—tidak perlu mengkhawatirkan penambahan anggaran lagi (fixed price) dan segala risiko pun akan ditanggung penyedia.
0 Response to "Kontrak dan Perhitungan HPS dalam Jasa Konstruksi"
Posting Komentar