Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah selalu dilibatkan dalam perjanjian pinjaman luar negeri. Keterlibatan ini diperlukan untuk membahas klausul dalam perjanjian, terutama yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Direktur Pengembangan Iklim Usaha dan Kerja Sama Internasional Gusmelinda Rahmi mengatakan bahwa penyusunan perjanjian pinjaman luar negeri pun sering kali tidak melibatkan pihak-pihak yang paham akan aturan pengadaan. Menurutnya, hal ini menyebabkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Unit Layanan Pengadaan (ULP) memiliki kekhawatiran dalam melaksanakan pengadaan yang berasal dari pinjaman luar negeri.
Selain itu, lanjut Linda, pemerintah Indonesia cenderung mengikuti pedoman pengadaan dari pihak pemberi pinjaman meskipun pada klausul perjanjian telah disebutkan mengacu pada aturan dalam negeri dan pihak donor. “Jadi, biasanya yang mau melaksanakan, PPK dan ULP, itu enggan melaksanakan pada saat di sana terbukti bahwa itu harus mengikuti aturan pemberi pinjaman, sedangkan para auditor umumnya itu lebih mengacu pada aturan kita,” ujarnya dalam sebuah forum diskusi di kantor LKPP di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dalam laporan kajian yang dilakukan LKPP, pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang berasal dari pinjaman luar negeri dikhawatirkan masih terbentur dengan peraturan lintas sektor. Linda mencatat ada beberapa undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang mewajibkan penggunaan produk dalam negeri, Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang mengatur ihwal kewajiban memaksimalkan penggunaan penyedia nasional, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan syarat dan ketentuan yang banyak dituangkan dalam perjanjian pinjaman luar negeri dewasa ini.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, dalam praktiknya, pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan klausul perjanjian sering mengesampingkan peraturan perundangan-undangan. Menurutnya, hal ini dapat mengakibatkan perjanjian pinjaman luar negeri batal demi hukum karena adanya klausul yang disharmonis dengan peraturan perundang-undangan. “Hal ini mengindikasikan kepada kita, satu, kadang kala kalau sudah merupakan kebutuhan pemerintah, banyak undang-undang yang menjadi terabaikan. Yang kedua, mengindikasikan bahwa sebenarnya banyak proyek yang tidak bisa dijalankan, tapi terasa dipaksakan,” ujarnya.
Di samping itu, lanjut Hikmahanto, terkadang penetapan pemenang dalam penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa dilakukan sebelum mendapatkan pinjaman. Hal ini akan berakibat fatal pada porsi keleluasaan pemerintah dalam menetapkan klausul perjanjian.
“Artinya apa? Bahwa ruang gerak bagi LKPP (untuk menerapkan aturan yang sesuai dengan ketentuan ketika loan itu sudah ada, itu menjadi nggak ada lagi , kecuali LKPP diajak (sejak awal) oleh siapa pun instansi yang membutuhkan itu. Bicara di depan dulu, diajak dulu, ikut, (setelah itu) sama-sama memutuskan [sich!],” ujarnya.
Ia pun berharap pemerintah Indonesia dapat lebih memperhatikan posisi tawar dalam menyetujui klausul perjanjian yang terkait dengan pinjaman luar negeri. Langkah ini perlu dilakukan guna memberikan ruang untuk memasukkan klausul yang lebih menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.
Menurutnya, permasalahan yang muncul dalam pembuatan klausul perjanjian pinjaman luar negeri sering kali disebabkan oleh pola pikir negosiator pemerintah yang cenderung memosisikan sebagai pihak yang kalah. Dengan status sebagai debitur, negosiator pemerintah juga cenderung lebih terbuka dalam menerima persyaratan dan ketentuan dari pihak donor. Padahal, menurutnya, banyak negara donor yang memiliki kepentingan dalam menjaga perputaran kas melalui penanaman investasi di Indonesia.
“Cuma masalahnya mindset dari negosiator kita ketika pinjam itu selalu berpikir dalam posisi yang lemah. Nah, ini yang salah. Dan saya lihat kalau perjanjian-perjanjian pinjaman itu memang ketentuan kreditur-lah yang lebih banyak di situ,” kata Hikmahanto pada saat menjadi pembicara di kantor LKPP, Senin (05/09).
Ia menilai pemberian pinjaman, pada prinsipnya, sarat akan kepentingan pihak donor, terutama dalam mendorong tumbuhnya perekonomian negaranya. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara mengikat negara debitur untuk menggunakan produk maupun jasa dari pihak donor. Di samping itu, Hikmahanto juga menengarai adanya pasal dalam perjanjian pinjaman yang memberikan rujukan ihwal ketentuan perjanjian pada persyaratan yang sebelumnya telah mereka tetapkan.
“Jadi, biasanya isi perjanjiannya cuma mungkin 6 pasal atau 7 pasal, tapi di dalam satu pasal ada yang mengatakan bahwa perjanjian ini akan tunduk pada term and condition yang ditentukan oleh ADB, IMF, dan sebagainya. Jadi, ada aturan khusus yang sudah dibuat dari sana-nya,” ujarnya
Dalam hal ini, Hikmahanto menilai wakil-wakil Indonesia yang bekerja di lembaga donor internasional dapat secara aktif menyuarakan kepentingan Indonesia. Di samping itu, ia juga berharap pemerintah dapat lebih teliti dalam memperhatikan peraturan perundang-undangan agar tidak ada perjanjian pinjaman luar negeri yang batal demi hukum.
0 Response to "LKPP dan Pemerintah Dituntut Mampu Bernegosiasi Terkait dengan Perjanjian Pinjaman Luar Negeri"
Posting Komentar