Menjadi pejabat pengelola Pengadaan Barang/Jasa baik Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), maupun Pejabat/Penerima Hasil Pekerjaan bukanlah hal yang menyenangkan bagi sebagian PNS.
Banyak kegalauan yang dialami tatkala seorang PNS ditetapkan untuk menduduki jabatan fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Mulai dari honor yang tak sebanding dengan besarnya tanggungjawab, beban dan risiko pekerjaan yang besar sampai dengan kuatnya arus intervensi dari pihak-pihak tertentu. Dengan kegalauan Intervensi yang harus diimbangi dengan integritas.
Integritas dapat diartikan sebagai tindakan yang sesuai dengan norma, nilai, dan prinsip yang telah diatur. Integritas juga mengandung arti kejujuran. Dalam Pengadaan Barang/Jasa integritas merupakan persyaratan pertama yang harus dimiliki oleh pejabat fungsional pengadaan, yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, dan Panitia/Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP). Perwujudan dari integritas dituangkan dalam Pakta Integritas yang harus ditandatangani oleh PPK, Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, dan PPHP.
Pakta Integritas merupakan surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam Pengadaan Barang/Jasa (Pasal 1 angka 13 Perpres Nomor 70 Tahun 2012). Pakta Integritas hanyalah selembaran kertas yang dijadikan dokumen pelengkap dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, namun nilainya bagaikan sumpah yang harus ditanggung oleh Pejabat Pengelola Pengadaan. Jika melanggar, kurungan penjara sudah menanti.
Integritas seseorang seringkali larut ke dalam intervensi yang dilakukan dari pihak-pihak tertentu. Intevensi sering diartikan sebagai tindakan campur tangan oleh oknum untuk mencapat tujuan tertentu dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Bentuk bentuk intervensi yang sering terjadi dalam proses Pengadaan Barang/Jas, salah satunya tekanan untuk memenangkan Penyedia tertentu. Dan inilah yang sering terjadi. Istilah yang umumnya digunakan adalah “arahan/titipan” yang dibalut dengan kata “Kebijakan”.
Semua pihak yang terlibat seakan dipaksa untuk mengamini sekaligus mengamankan "kebijakan" tersebut. Bagi PNS yang tidak mengikuti "kebijakan" tersebut dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal oleh kalangan PNS yang sudah familiar dan bahkan terbiasa dengan "kebijakan" buah simalakama tersebut. Akibatnya bagi seorang PNS bisa saja dipindahtugaskan (mutasi) bahkan dibebastugaskan (non job) jikalau mereka melawan arus "Kebijakan" semu tersebut. Loyalitas seringkali disalahtafsirkan sebagai sikap sesorang yang harus tunduk dan mengikuti apapun perintah atasan termasuk menabrak aturan sekalipun.
Perintah atasan yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan wajib hukumnya untuk tidak dilaksanakan. Hanyalah orang-orang berintegritas yang punya keberanian untuk “melawan” "kebijakan" yang salah tersebut. Itulah salah satu alasan mengapa integritas merupakan persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Integritas salah satu faktor utama yang dapat menafikan intervensi.
Secara umum intervensi akan berpengaruh buruk terhadap tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and Clean Government). Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, intervensi yang banyak dilakukan oleh oknum ini akan mengganggu terciptanya mekanisme pasar sehingga mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat diantara para pelaku usaha.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinisikan persaingan usaha yang tidak sehat sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Undang-Undang tersebut juga menekankan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
Faktanya, intervensi yang menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat ini bukan hanya terjadi pada tahapan Pemilihan Penyedia lelang saja. Dari hulu hingga hilir seakan tak pernah luput dari intervensi. Mulai dari tahap perencanaan sampai dengan barang/jasa itu ada. Berikut ini kita uraikan secara garis besar praktik-praktik intervensi dalam setiap tahapan.
Tahap Perencanaan; Penyusunan perencanaan harus didasarkan pada kebutuhan (based on need) bukan semata-mata pada keinginan (based on want). Istilah mudahnya, "Udah beli aja barang A, daripada uang negera tidak terpakai!". Intervensi bentuk seperti ini seringkali menyebabkan proses penganggaran hanya berdasarkan pada keinginan pihak-pihak tertentu. Identifikasi kebutuhan yang seharusnya menjadi dasar penyusunan kegiatan menjadi terabaikan.
Tahap Pemilihan Penyedia (Tender); Pada tahap ini kadang-kadang terjadi dikarenakan telah terjadi intervensi pada tahap perencanaan sebelumnya. Dan bisa dikatakan intervensi pada tahap ini sangatlah kuat. Proses pemilihan Penyedia seringkali dianggap hanyalah formalitas. Pemenang tender sebenarnya sudah ada sejak awal. Segala prosedur yang telah dijalankan hanyalah upaya untuk menggugurkan kewajiban saja untuk menggoalkan tujuan. Panitia/Pokja ULP “dipaksa” memutar otak untuk memenangkan “titipan/arahan” dengan segala cara. Pengaturan dalam proses pemilihan Penyediapun dilakukan. Indikasi adanya pengaturan tersebut sebenarnya mudah dikenali.
Beberapa contoh adanya indikasi pengaturan dalam proses pemilihan Penyedia antara lain: pelelangan sengaja tidak dilakukan secara elektornik (electronic tendering); persyaratan dalam dokumen pemilihan tidak sesuai kententuan dan adanya indikasi mengada-ada dengan tujuan mempersempit peluang Penyedia yang lain; pada lelang secara elektronik jadwal penentuan pemenang lelang kadang-kadang berubah-ubah dikarenakan Pejabat Pengelola Pengadaan masih mencari-cari kelemahan Penyedia. Penyedia yang dimenangkan cenderung memiliki nilai penawaran mendekati nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) dengan peringkat dibawah; dan masih banyak lagi indikasi lainnya.
Tahap Pelaksanaan Kontrak; setelah pengumuman pemenang dan tidak ada sanggahan/sanggahan tidak benar, Panitia Pengadaan mengajukan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) kepada PPK, selanjutnya PPK menerbitkan SPPBJ (Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa). BAHP dan SPPBJ merupakan langkah awal menuju Kontrak. PPK bisa saja tidak sependapat dengan keputusan Panitia/Pokja ULP dalam hal penetapan pemenang lelang. PPK yang jeli seharusnya meneliti terlebih dahulu semua proses yang dilakukan oleh Panitia/Pokja ULP sebelum menerbitkan SPPBJ. Jika ada yang tidak sesuai dengan ketentuan/melanggar prosedur maka PPK mempunyai kewenangan untuk tidak menerbitkan SPPBJ. Selanjutnya permasalahan tersebut dibawa ke tingkat PA/KPA untuk diputuskan. Keputusan PA/KPA bersifat final.
Intervensi dari hulu ke hilir menjadikan PPK tidak dapat berbuat banyak walaupun sebenarnya mengetahui ada sesuatu yang salah dalam tiap tahapan proses lelang. Kewenangan PPK seakan dikebiri. PPK tidak berkutik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya mengendalikan pelaksanaan Kontrak. Justeru sebaliknya, seringkali Penyedia atau pihak lain yang mengendalikan pelaksanaan Kontrak.
Kontrak yang berakhir dengan serah terima pekerjaan juga tidak luput dari intervensi. Berita Acara Serah Terima (BAST) Hasil Pekerjaan terpaksa harus ditandatangani oleh PPHP walaupun hasilnya tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan ketentuan yang diatur dalam Kontrak.
Harus diingat bahwa para pejabat pengelola Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) maupun pengelola keuangan negara mempunyai tugas dan kewenangannya masing-masing. Pada suatu saat para pihak yang terlibat akan dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan tugas dan kewenangannya tersebut.
Di Republik ini masih banyak orang benar dan punya integritas. Namun tidak sedikit orang benar yang berada di tempat, waktu, dan sistem yang salah akhirnya bermasalah karena tidak mampu mempertahankan kekokohan integitasnya. Kita berharap semoga ke depannya semakin banyak orang baik yang mengisi birokrasi di Republik ini.
Integritas dapat diartikan sebagai tindakan yang sesuai dengan norma, nilai, dan prinsip yang telah diatur. Integritas juga mengandung arti kejujuran. Dalam Pengadaan Barang/Jasa integritas merupakan persyaratan pertama yang harus dimiliki oleh pejabat fungsional pengadaan, yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, dan Panitia/Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP). Perwujudan dari integritas dituangkan dalam Pakta Integritas yang harus ditandatangani oleh PPK, Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, dan PPHP.
Pakta Integritas merupakan surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam Pengadaan Barang/Jasa (Pasal 1 angka 13 Perpres Nomor 70 Tahun 2012). Pakta Integritas hanyalah selembaran kertas yang dijadikan dokumen pelengkap dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, namun nilainya bagaikan sumpah yang harus ditanggung oleh Pejabat Pengelola Pengadaan. Jika melanggar, kurungan penjara sudah menanti.
Integritas seseorang seringkali larut ke dalam intervensi yang dilakukan dari pihak-pihak tertentu. Intevensi sering diartikan sebagai tindakan campur tangan oleh oknum untuk mencapat tujuan tertentu dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Bentuk bentuk intervensi yang sering terjadi dalam proses Pengadaan Barang/Jas, salah satunya tekanan untuk memenangkan Penyedia tertentu. Dan inilah yang sering terjadi. Istilah yang umumnya digunakan adalah “arahan/titipan” yang dibalut dengan kata “Kebijakan”.
Semua pihak yang terlibat seakan dipaksa untuk mengamini sekaligus mengamankan "kebijakan" tersebut. Bagi PNS yang tidak mengikuti "kebijakan" tersebut dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal oleh kalangan PNS yang sudah familiar dan bahkan terbiasa dengan "kebijakan" buah simalakama tersebut. Akibatnya bagi seorang PNS bisa saja dipindahtugaskan (mutasi) bahkan dibebastugaskan (non job) jikalau mereka melawan arus "Kebijakan" semu tersebut. Loyalitas seringkali disalahtafsirkan sebagai sikap sesorang yang harus tunduk dan mengikuti apapun perintah atasan termasuk menabrak aturan sekalipun.
Perintah atasan yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan wajib hukumnya untuk tidak dilaksanakan. Hanyalah orang-orang berintegritas yang punya keberanian untuk “melawan” "kebijakan" yang salah tersebut. Itulah salah satu alasan mengapa integritas merupakan persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Integritas salah satu faktor utama yang dapat menafikan intervensi.
Secara umum intervensi akan berpengaruh buruk terhadap tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and Clean Government). Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, intervensi yang banyak dilakukan oleh oknum ini akan mengganggu terciptanya mekanisme pasar sehingga mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat diantara para pelaku usaha.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinisikan persaingan usaha yang tidak sehat sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Undang-Undang tersebut juga menekankan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
Faktanya, intervensi yang menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat ini bukan hanya terjadi pada tahapan Pemilihan Penyedia lelang saja. Dari hulu hingga hilir seakan tak pernah luput dari intervensi. Mulai dari tahap perencanaan sampai dengan barang/jasa itu ada. Berikut ini kita uraikan secara garis besar praktik-praktik intervensi dalam setiap tahapan.
Tahap Perencanaan; Penyusunan perencanaan harus didasarkan pada kebutuhan (based on need) bukan semata-mata pada keinginan (based on want). Istilah mudahnya, "Udah beli aja barang A, daripada uang negera tidak terpakai!". Intervensi bentuk seperti ini seringkali menyebabkan proses penganggaran hanya berdasarkan pada keinginan pihak-pihak tertentu. Identifikasi kebutuhan yang seharusnya menjadi dasar penyusunan kegiatan menjadi terabaikan.
Tahap Pemilihan Penyedia (Tender); Pada tahap ini kadang-kadang terjadi dikarenakan telah terjadi intervensi pada tahap perencanaan sebelumnya. Dan bisa dikatakan intervensi pada tahap ini sangatlah kuat. Proses pemilihan Penyedia seringkali dianggap hanyalah formalitas. Pemenang tender sebenarnya sudah ada sejak awal. Segala prosedur yang telah dijalankan hanyalah upaya untuk menggugurkan kewajiban saja untuk menggoalkan tujuan. Panitia/Pokja ULP “dipaksa” memutar otak untuk memenangkan “titipan/arahan” dengan segala cara. Pengaturan dalam proses pemilihan Penyediapun dilakukan. Indikasi adanya pengaturan tersebut sebenarnya mudah dikenali.
Beberapa contoh adanya indikasi pengaturan dalam proses pemilihan Penyedia antara lain: pelelangan sengaja tidak dilakukan secara elektornik (electronic tendering); persyaratan dalam dokumen pemilihan tidak sesuai kententuan dan adanya indikasi mengada-ada dengan tujuan mempersempit peluang Penyedia yang lain; pada lelang secara elektronik jadwal penentuan pemenang lelang kadang-kadang berubah-ubah dikarenakan Pejabat Pengelola Pengadaan masih mencari-cari kelemahan Penyedia. Penyedia yang dimenangkan cenderung memiliki nilai penawaran mendekati nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) dengan peringkat dibawah; dan masih banyak lagi indikasi lainnya.
Tahap Pelaksanaan Kontrak; setelah pengumuman pemenang dan tidak ada sanggahan/sanggahan tidak benar, Panitia Pengadaan mengajukan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) kepada PPK, selanjutnya PPK menerbitkan SPPBJ (Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa). BAHP dan SPPBJ merupakan langkah awal menuju Kontrak. PPK bisa saja tidak sependapat dengan keputusan Panitia/Pokja ULP dalam hal penetapan pemenang lelang. PPK yang jeli seharusnya meneliti terlebih dahulu semua proses yang dilakukan oleh Panitia/Pokja ULP sebelum menerbitkan SPPBJ. Jika ada yang tidak sesuai dengan ketentuan/melanggar prosedur maka PPK mempunyai kewenangan untuk tidak menerbitkan SPPBJ. Selanjutnya permasalahan tersebut dibawa ke tingkat PA/KPA untuk diputuskan. Keputusan PA/KPA bersifat final.
Intervensi dari hulu ke hilir menjadikan PPK tidak dapat berbuat banyak walaupun sebenarnya mengetahui ada sesuatu yang salah dalam tiap tahapan proses lelang. Kewenangan PPK seakan dikebiri. PPK tidak berkutik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya mengendalikan pelaksanaan Kontrak. Justeru sebaliknya, seringkali Penyedia atau pihak lain yang mengendalikan pelaksanaan Kontrak.
Kontrak yang berakhir dengan serah terima pekerjaan juga tidak luput dari intervensi. Berita Acara Serah Terima (BAST) Hasil Pekerjaan terpaksa harus ditandatangani oleh PPHP walaupun hasilnya tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan ketentuan yang diatur dalam Kontrak.
Harus diingat bahwa para pejabat pengelola Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) maupun pengelola keuangan negara mempunyai tugas dan kewenangannya masing-masing. Pada suatu saat para pihak yang terlibat akan dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan tugas dan kewenangannya tersebut.
Di Republik ini masih banyak orang benar dan punya integritas. Namun tidak sedikit orang benar yang berada di tempat, waktu, dan sistem yang salah akhirnya bermasalah karena tidak mampu mempertahankan kekokohan integitasnya. Kita berharap semoga ke depannya semakin banyak orang baik yang mengisi birokrasi di Republik ini.
0 Response to "Kegalauan Pejabat Pengelola Pengadaan antara Menjaga Integritas atau Larut dalam Intervensi"
Posting Komentar