Pengadaan.web.id - Pengadaan barang dan jasa yang diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 menekankan prinsip-prinsip efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil, dan akuntabel. Untuk memenuhi prinsip-prinsip tersebut, salah satunya dilakukan pengaturan tentang tata cara lelang pengadaan barang dan jasa mulai dari dokumen pengadaan hingga waktu pelaksanaan lelang. Pada umumnya, pihak pengguna/kuasa pengguna anggaran baru akan mulai melakukan proses lelang ketika telah mendapat kepastian yang sah jumlah alokasi anggaran untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)-nya. Oleh karena dokumen anggaran diterima oleh instansi pengguna anggaran pada akhir tahun (sebelum dimulainya tahun anggaran baru), maka pelaksanaan lelang baru bisa dimulai pada awal tahun anggaran baru.
Lihat: Dasar Hukum Pelaksanaan Lelang Mendahului KUA-PPAS/Penetapan APBD
Proses lelang pengadaan barang/jasa dapat memakan waktu sedikitnya 30 hari dimulai dari pengumuman sampai penetapan pemenang. Jika menginginkan kondisi yang optimal dan kondusif, maka setidaknya tahapan pengumuman lelang dilakukan pada pertengahan bulan Januari, berarti secepat-cepatnya pekerjaan dapat dilaksanakan awal sampai pertengahan bulan Februari. Namun seringkali di lapangan terjadi kondisi yang secara teknis maupun non teknis kontrak/pelaksanaan pekerjaan tidak bisa dilaksanakan segera pada awal tahun anggaran. Oleh karenanya, di dalam Pengadaan Barang/Jasa kita mengenal istilah Kontrak Bersyarat. Apa itu Kontrak Bersyarat?. Simak penjelasannya di bawah ini.
Di dalam hukum perjanjian, sejak timbulnya kesepakatan pada saat itu pula perjanjian dimulai dan harus dilaksanakan oleh para pihak. Namun terdapat kondisi dimana kontrak tidak bisa dilaksanakan, atau diberhentikan pelaksanaannya karena adanya faktor yang belum tentu terjadi di masa yang akan datang. Dalam kondisi seperti inilah Kontrak Bersyarat bisa diterapkan. Jadi, Kontrak Bersyarat adalah kontrak yang digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi. Hal demikian sudah diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata :
“Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”
Di dalam KUH Perdata sendiri tidak ditemukan secara jelas kapan saat sebenarnya terjadi suatu kontrak. Pasal 1320 KUH Perdata hanya menyebutkan kontrak dimulai sejak adanya konsensus para pihak. Salim H.S (2008) mengumpulkan pandangan para ahli tentang kapan saat terjadinya kontrak, kemudian mengelompokkannya sebagai berikut :
1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Teori ini menyatakan bahwa kesepakatan terjadi seketika pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa dia menerima tawaran tersebut.
2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)
Dalam teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram atau pemberitahuan elektronik. Permasalahan terkait teori ini adalah, bagaimana jika telegram telah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.
3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi sesungguhnya belum menerima atau mengetahui secara langsung penerimaan tersebut. Contoh ekstrim dari teori ini misalnya : Pak Badrun bermaksud menjual sebidang tanahnya kepada sebuah instansi AA dengan harga 1 Milyar. Sementara anggaran pembelian tanah instansi AA hanya tersedia 900 juta. Pak Badrun sebenarnya tidak keberatan jika tanahnya dibeli dengan harga 900 juta, asalkan Instansi AA membangunkan sebuah musholla di atas tanah tersebut. Pak Parto, tukang kebun Instansi AA memberitahu Pak Badrun, bahwa saat menghidangkan teh di ruang rapat mendengar keputusan pimpinan bahwa keinginan Pak Badrun akan dipenuhi. Pak Badrun, dalam hal ini telah mengetahui acceptatie dari pihak menerima tawaran walaupun hal tersebut belum bisa dipertanggungjawabkan secara tegas.
4. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)
Teori ini menjelaskan bahwa toestemming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan/penawar. Dalam dunia nyata, kita sering melihat pedagang asongan menawarkan dagangan sambil menyebut harganya. Maka, ketika seseorang memanggilnya dengan lambaian tangan, saat itulah dimulai perjanjian. Dalam kondisi yang lebih rumit, teori ini bisa kita temukan pada transaksi elektronik atau internet, yaitu saat kita menekan tombol/menu ‘accept’ maka saat itulah perjanjian dimulai.
5. Geobjectiveerde bernemingstheorie
Pitlo memberi ilustrasi ketika seseorang memasukkan surat penawaran di kotak pos pada jam 12 siang, kemudian diterima oleh penawar pada sore harinya, akan menimbulkan kontroversi kapan terjadinya perjanjian. Hoge Raad menyatakan bahwa terjadinya perjanjian adalah pada sore harinya (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan : 1980).
Memperhatikan teori-teori tersebut, penyebab timbulnya kontroversi tentang kapan dimulainya perjanjian adalah karena terdapatnya jeda waktu antara saat disampaikannya penawaran dan saat diterimanya. Dengan munculnya jeda waktu tersebut, membuka peluang terjadinya pergeseran kehendak pada masing-masing pihak. Padahal, apabila tidak ditemukan kesesuaian kehendak perjanjian bisa batal atau tidak terlaksana.
Kapan terjadinya kontrak dalam Perpres 16/2018, berdasarkan teori-teori diatas, momentumnya adalah saat penerbitan SPPBJ oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Sehingga dapat disumpulkn bahwa penawaran adalah ketika penyedia barang/jasa memasukkan surat penawaran, dan kontrak timbul saat terbit SPPBJ. Sejalan dengan hal tersebut, penerbitan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) dan penandatanganan kontrak dilaksanakan setelah Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) disahkan.
0 Response to "Kontrak Bersyarat dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah"
Posting Komentar