Pada kasus korupsi pengadaan e-KTP, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan statetement yang cukup menimbulkan persepsi yang salah bagi orang awam. Tjahjo Kumolo menyampaikan "ujung-ujungnya siapa dalangnya? Dalangnya adalah panitia lelang. Dari harga blanko e-KTP yang hanya Rp 4.700 harga satuannya, di-mark-up (digelembungkan) menjadi Rp 16 ribu. Itulah yang dicari KPK, ternyata begitu besar. Apakah panitia lelang dibisiki oleh dalang lain, biarlah KPK yang memeriksa".
Pernyataan itu jika dibaca oleh awam, berpotensi menimbulkan salah pengertian seolah-olah Panitia Lelang memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sebagaimana ilustrasi bagian kiri pada gambar di atas, salah satu tahapan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah penyusunan Rencana Pelaksanaan Pengadaan (RPP) oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). RPP terdiri dari: spesifikasi, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan rancangan kontrak. Unsur-unsur spesifikasi adalah: mutu, jumlah, waktu dan tempat yang secara bersama-sama akan menentukan nilai HPS. Spesifikasi harus dirumuskan agar keluaran dapat terwujud sehingga prisip Efektif tercapai. Di sisi lain, HPS harus diperhitungkan dengan cermat guna mewujudkan Efisiensi dalam pengeluaran Negara. Jika prinsip Efektif dan Efisien sudah diterapkan sejak tahapan RPP, diharapkan akan menghasilkan paket pelelangan yang memenuhi prinsip Terbuka dan Bersaing. Apabila kita kembalikan ke konteks kasus yang diungkap oleh Mendagari, maka spesifikasi kartu e-ktp dan HPS nya ditentukan oleh PPK yang pada saat itu secara struktural menduduki jabatan eselon II.
Sekarang kita liat gambar ilustrasi bagian kanan. RPP yang telah disusun oleh PPK kemudian diserahkan kepada Pokja UKPBJ/Panitia Lelang. Secara kedinasan, Pokja UKPBJ/Panitia Lelang memiliki kedudukan struktural yang lebih rendah dibandingkan PPK, namun secara tugas dan fungsi, kedudukan Panitia Lelang dan PPK adalah sejajar. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan yang berlaku, Pokja UKPBJ/Panitia Lelang berhak melakukan pengkajian terhadap RPP hanya terbatas pada Spesifikasi dan HPS. Dalam hal Pokja UKPBJ/Panitia Lelang berpendapat bahwa spesifikasi dan HPS tidak disusun berdasar prinsip pengadaan atau tidak wajar, maka Panitia Lelang bisa mengusulkan kepada PPK untuk melakukan perbaikan terhadap spesifikasi dan HPS. Terhadap masukan dari Pokja UKPBJ/Panitia Lelang, PPK memiliki kewenangan penuh untuk melakukan atau tidak melakukan perubahan terhadap spesifikasi dan/atau HPS. Apabila kita kembalikan ke konteks kasus yang diungkap oleh Mendagri, kemungkinan yang terjadi adalah:
Apapun yang terjadi pada saat itu, kondisi itulah yang (mungkin) dimaksud oleh Mendagri bahwa PPK menjadi dalang.
Khusus mengangkut kasus e-ktp, dengan nilai paket sebesar itu, maka penetapan pemenang merupakan kewenangan PA yang dijabat oleh Mendagri pada saat itu. Sehingga jika Panitia Lelang dianggap sebagai dalang, maka Panitia Lelang harus bisa memperdaya Mendagri untuk menyetujui skenario yang disusun dan menetapkan pemenang sesuai keinginan Panitia Lelang. Make sense atau tidak, silakan pembaca menyimpulkan sendiri.
Lesson Learn
Kasus e-ktp sudah terjadi, proses hukum sudah ditangani oleh aparat yang berwenang. Sebagai masyarakat biasa, kita bisa mengikuti proses yang berlaku dan semaksimal mungkin mengambil pembelajaran dari apa yang sudah terjadi. Pembelajaran kali ini khusus untuk pelaku PBJ yang menjadi Pokja UKPBJ/Panitia Lelang. Maksimalkan tahap pengkajian ulang spesifikasi dan HPS. Jika mengetahui bahwa spesifikasi dan/atau HPS disusun dengan mengabaikan prinsip PBJ atau dibuat tidak wajar, sampaikan usulan perubahan kepada PPK. Jika kita mengambil 2 titik ekstrim, menolak melakukan proses pemilihan akan berakibat sanksi administrasi dan/atau kepegawaian. Di sisi lain, memproses paket yang mengabaikan prinsip pengadaan akan mengakibatkan diri kita terlibat pada pusaran kasus pidana. Menghindari kemungkinan terjadinya kasus pidana lebih baik bagi semua pihak.
Source: Agus Kuncoro via (web) |
Pernyataan itu jika dibaca oleh awam, berpotensi menimbulkan salah pengertian seolah-olah Panitia Lelang memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sebagaimana ilustrasi bagian kiri pada gambar di atas, salah satu tahapan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah penyusunan Rencana Pelaksanaan Pengadaan (RPP) oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). RPP terdiri dari: spesifikasi, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan rancangan kontrak. Unsur-unsur spesifikasi adalah: mutu, jumlah, waktu dan tempat yang secara bersama-sama akan menentukan nilai HPS. Spesifikasi harus dirumuskan agar keluaran dapat terwujud sehingga prisip Efektif tercapai. Di sisi lain, HPS harus diperhitungkan dengan cermat guna mewujudkan Efisiensi dalam pengeluaran Negara. Jika prinsip Efektif dan Efisien sudah diterapkan sejak tahapan RPP, diharapkan akan menghasilkan paket pelelangan yang memenuhi prinsip Terbuka dan Bersaing. Apabila kita kembalikan ke konteks kasus yang diungkap oleh Mendagari, maka spesifikasi kartu e-ktp dan HPS nya ditentukan oleh PPK yang pada saat itu secara struktural menduduki jabatan eselon II.
Sekarang kita liat gambar ilustrasi bagian kanan. RPP yang telah disusun oleh PPK kemudian diserahkan kepada Pokja UKPBJ/Panitia Lelang. Secara kedinasan, Pokja UKPBJ/Panitia Lelang memiliki kedudukan struktural yang lebih rendah dibandingkan PPK, namun secara tugas dan fungsi, kedudukan Panitia Lelang dan PPK adalah sejajar. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan yang berlaku, Pokja UKPBJ/Panitia Lelang berhak melakukan pengkajian terhadap RPP hanya terbatas pada Spesifikasi dan HPS. Dalam hal Pokja UKPBJ/Panitia Lelang berpendapat bahwa spesifikasi dan HPS tidak disusun berdasar prinsip pengadaan atau tidak wajar, maka Panitia Lelang bisa mengusulkan kepada PPK untuk melakukan perbaikan terhadap spesifikasi dan HPS. Terhadap masukan dari Pokja UKPBJ/Panitia Lelang, PPK memiliki kewenangan penuh untuk melakukan atau tidak melakukan perubahan terhadap spesifikasi dan/atau HPS. Apabila kita kembalikan ke konteks kasus yang diungkap oleh Mendagri, kemungkinan yang terjadi adalah:
- Panitia Lelang tidak memberikan usulan perubahan spesifikasi dan/atau HPS kepada PPK; atau
- Panitia Lelamg memberikan usulan perubahan spesifikasi dan/atau HPS, namun usulan tersebut tidak diterima oleh PPK.
Apapun yang terjadi pada saat itu, kondisi itulah yang (mungkin) dimaksud oleh Mendagri bahwa PPK menjadi dalang.
Khusus mengangkut kasus e-ktp, dengan nilai paket sebesar itu, maka penetapan pemenang merupakan kewenangan PA yang dijabat oleh Mendagri pada saat itu. Sehingga jika Panitia Lelang dianggap sebagai dalang, maka Panitia Lelang harus bisa memperdaya Mendagri untuk menyetujui skenario yang disusun dan menetapkan pemenang sesuai keinginan Panitia Lelang. Make sense atau tidak, silakan pembaca menyimpulkan sendiri.
Lesson Learn
Kasus e-ktp sudah terjadi, proses hukum sudah ditangani oleh aparat yang berwenang. Sebagai masyarakat biasa, kita bisa mengikuti proses yang berlaku dan semaksimal mungkin mengambil pembelajaran dari apa yang sudah terjadi. Pembelajaran kali ini khusus untuk pelaku PBJ yang menjadi Pokja UKPBJ/Panitia Lelang. Maksimalkan tahap pengkajian ulang spesifikasi dan HPS. Jika mengetahui bahwa spesifikasi dan/atau HPS disusun dengan mengabaikan prinsip PBJ atau dibuat tidak wajar, sampaikan usulan perubahan kepada PPK. Jika kita mengambil 2 titik ekstrim, menolak melakukan proses pemilihan akan berakibat sanksi administrasi dan/atau kepegawaian. Di sisi lain, memproses paket yang mengabaikan prinsip pengadaan akan mengakibatkan diri kita terlibat pada pusaran kasus pidana. Menghindari kemungkinan terjadinya kasus pidana lebih baik bagi semua pihak.
0 Response to "Benarkah Pokja ULP (UKPBJ) sebagai Dalang Korupsi? Lalu, Bagaimana Mencegahnya"
Posting Komentar