Pasal 1320 KUH Perdata: Berikut Syarat Sah Perjanjian/Kontrak

Dalam kehidupan bermasyarakat tidak bisa terlepas dari hubungan satu dengan lainnya. Yang paling sering dilakukan oleh seseorang maupun badan hukum untuk menjaga/mengikat hubungan tersebut adalah melalui sebuah Perjanjian/Kontrak. 

Membuat kesepakatan melalui sebuah Perjanjian tersebut bisa saja dikarenakan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup ataupun dalam rangka memperoleh keuntungan. 

Misalnya perjanjian transaksi jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, menggunakan jasa seseorang, dan sebagainya.

Kebanyakan masyarakat di Indonesia masih kurang paham betul akan pentingnya melakukan perjanjian secara tertulis. Mereka masih banyak yang melakukan dengan perjanjian lisan, walaupun perjanjian lisan tidak dilarang oleh KUH Perdata, namun perjanjian lisan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dibandingkan perjanjian dalam bentuk tertulis.

 Sedangkan perjanjian yang dibuat secara tertulis dihadapan notaris atau pejabat pemerintahan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Banyak pula masyarakat yang melakukan perjanjian tertulis namun perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yang terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata. 

Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang bagaimana suatu perjanjian dianggap sah menurut Kitab undang-undang hukum perdata. Agar dapat dijadikan pembelajaran bagi masyarakat menegenai suatu perjanjian atau kontrak.




Syarat-syarat Sahnya Perjanjian



Mengingat begitu pentingnya sebuah perjanjian, agar tidak timbul permasalahan di kemudian hari akibat kurang pahamnya seseorang dalam membuat suatu perjanjian, maka kami akan menjelaskan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar perjanjian menjadi sah dan mengikat para pihak. 

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni:
  1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu; dan
  4. Suatu sebab (causa) yang halal.
Persyaratan yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena berkenaan dengan subjek perjanjian. Sedangkan, persyaratan yang ketiga dan keempat berkenan dengan objek perjanjian dinamakan syarat objektif.

Baca juga: Pengertian Kontrak dan Pemutusan Kontrak
                   Jenis-jenis Kontrak Pengadaan Barang/Jasa
                   Pengertian Adendum Kontrak

Perbedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) suatu perjanjian. 

Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. 

Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.


1. Kata Sepakat



Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan, dimana kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan.

Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (Offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Misalnya, sepakat untuk melakukan jual-beli tanah, harganya, cara pembayarannya, penyelesaian sengketanya, dsb.

Suatu perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu:

  • Paksaan (dwang), yaitu setiap perbuatan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan kehendak para pihak yang terlibat di dalam kontrak termasuk dalam tindakan pemaksaan. Paksaan tersebut dibuat dengan tujuan agar pada akhirnya pihak lain memberikan haknya. Ancaman tersebut adalah setiap tindakan intimidasi mental. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai kelainan mental. 
  • Penipuan (bedrog). Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328 KUH Perdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian.

    Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar.

    Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada puhak yang lain. Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada serangkain kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkain cerita yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu.

    Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat. Contohnya, merubah nomor seri pada sebuah mesin. Kelalaian untuk menginformasikan pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada suatu benda bukan merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai maksud jahat dan hanya merupakan kelalaian belaka. Selain itu, tindakan tersebut haruslah berjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan.

    Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu: (1) merupakan tindakan yang bermaksud jahat , kecuali untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda; (2) sebelum perjanjian tersebut dibuat; (3) dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian; (4) tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat. 
  • Kesesatan atau Kekeliruan (dwaling). Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua) macam kekeliruan. Pertama, error in person, yaitu kekeliruan pada orangnya, misalnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama yang sama. Kedua, error in substantial yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan kerakteristik suatu benda, misalnya seseorang yang membeli lukisan Basuki Abdullah, tetapi setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan yang di belinya tadi adalah lukisan tiruan dari Basuki Abdullah.
  • Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden). Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat mengambil putusan yang independen. Penekanan tersebut dapat dilakukan karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan yang dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary dan confidence).


2. Kecakapan untuk Mengadakan Perikatan



Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian (om eene verbintenis aan te gaan). Dari kata “membuat” atau "mengadakan" perikatan dan perjanjian dapat disimpulkan bahwa masing-masing pihak yang berkontrak harus ada unsur “niat” atau sengaja.

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap. Kemudian Pasal 1330 KUH Perdata memberikan pengecualian dengan penjelasan "ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian", yaitu:
  • Orang yang belum dewasa
    Yaitu berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun yang berlaku baik bagi wanita maupun pria. Pasal 330 KUH Perdata yang berbicara tentang batas usia dewasa diganti dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung  No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 yang menyatakan bahwa dengan berlakunya UU No 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan lagi 21 tahun.
  • Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele atau conservatorship)
    Seseorang dapat diletakan di bawah pengampuan jika yang bersangkutan gila, dungu (onnoozelheid), mata gelap (razernij), lemah akal (zwakheid van vermogens) atau juga pemboros. Orang yang demikian itu tidak menggunakan akal sehatnya, dan oleh karenanya dapat merugikan dirinya sendiri. Selain itu, seseorang yang mengalami kepailitan menjadi tidak cakap untuk melakukan perikatan tertentu sejak pernyataan pailit diucapkan oleh Pengadilan. 
  • Orang-orang perempuan dalam pernikahan, (setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 dan diundangkannya Undang-undang no 1 tahun 1974 pasal 31 ayat 2 maka perempuan dalam perkawinan dianggap cakap hukum).

3. Suatu Hal Tertentu



Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas. Pasal 1333 KUH Perdata ayat 1 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki suatu pokok persoalan.

Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjiakan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak.

KUH Perdata menyebutkan bahwa barang/benda yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan. Misalnya mengenai perjanjian “panen padi dari lahan sawah sebesar 1 hektar dalam tahun berikutnya”adalah sah.

4. Kausa (Sebab) Hukum yang Halal



Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum. 

Contohnya melakukan perjanjian jual beli barang haram narkotika, atau perjanjian perdagangan orang/manusia, dsb. Perjanjian semacam ini dilarang dan tidak memenuhi syarat sah suatu perjanjian/kontrak.

Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzaak (Belanda) atau causa (Latin) bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. 

Misalnya dalam perjajian jual beli, isi dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila seseorang membeli pisau di suatu toko dengan maksud membunuh orang, maka jual beli tersebut mempunyai kausa yang halal. 

Apabila maksud membunuh tersebut dituangkan di dalam perjanjian, misalnya penjual pisau menyatakan hanya bersedia menjual pisaunya jika pembeli melakukan pembelian pisau untuk menbunuh orang dengan pisaunya, disini tidak ada kausa hukum yang halal.

Itulah ulasan mengenai 4 syarat sahnya suatu perjanjian/kontrak berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat-syarat tersebut bukanlah yang sulit dan sebuah perjanjian tertulis yang sudah kamu buat akan memiliki kekuatan hukum jika sudah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut. Sehingga Semoga bisa membantu dan bermanfaat buat kamu ya!

7 Responses to "Pasal 1320 KUH Perdata: Berikut Syarat Sah Perjanjian/Kontrak"

  1. kalau boleh tau nama penulisnya siapa ya?

    BalasHapus
  2. Bagus mas tulisannya, tapi saya masih bingung mengenai seseorang yang dianggap belum dewasa, disitu ditulis 18 tahun bukan lagi 21 tahun, kalo sepengetahuan saya orang usia 18 tahun itu termasuk dalam undang-undang anak.
    Terima kasih.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau di perdata, orang yang disebut dewasa mulai umur 18 tahun, sedangkan untuk pidana orang yang disebut dewasa berumur 21 tahun. Terimakasih

      Hapus
  3. Kalo mobil dioper atas dasar sama suka mobil sama yg oper di jualatas nama masih ditagih gimana penangan nannya

    BalasHapus
  4. mas mau tanya. para pihak ( Pengusaha dan Pekerja) melakukan kesepakatan utk pembayaran upah kerja. singkat cerita, pekerja menandatangani surat kesepakatan tersebut, namun sebenarnya si pekerja tidak terima thd isi kesepakatan tersebut. pertanyaan saya: apakah pekerja bisa menggugat secara Perdata? ataukah Pekerja menempuh upaya perselisihan hubungan industrial ? terima kasih mas

    BalasHapus
  5. semisal saya mempunyai prusahaan jasa, saya merekrut orang dengan kesepakatan bersama dengan gajih 2 jt, kemudian sya menawarkan keperusahaan dengan gaji 2 jt 500, dari karyawan atau pun perusahaan semuanya menyetujui kesepakan tersebut..apakah itu sah menurut syariat islam?

    BalasHapus