Dalam dunia proyek konstruksi, keberhasilan suatu pekerjaan sangat bergantung pada kelancaran pelaksanaannya, termasuk dalam hal pendanaan. Salah satu instrumen penting yang mendukung kelancaran proses ini adalah uang muka yang diberikan kepada penyedia jasa konstruksi.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memiliki kewenangan penting dalam menetapkan besaran uang muka yang akan diberikan kepada penyedia.
Penetapan ini harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mencerminkan kebutuhan nyata dari penyedia dalam mempersiapkan pelaksanaan pekerjaan.
Fungsi Uang Muka dalam Pelaksanaan Proyek
Uang muka diberikan dengan tujuan untuk membantu penyedia jasa dalam mempersiapkan pelaksanaan proyek konstruksi.
Beberapa kegiatan utama yang dibiayai dengan uang muka termasuk:
1. Membayar kebutuhan untuk mobilisasi barang, bahan, peralatan, dan tenaga kerja
Persiapan awal dalam proyek konstruksi membutuhkan mobilisasi sumber daya, seperti pengadaan dan pengangkutan material, serta penyediaan alat berat dan tenaga kerja.
Uang muka memungkinkan penyedia untuk memastikan semua elemen ini tersedia tepat waktu, sehingga pekerjaan dapat dimulai sesuai jadwal yang ditetapkan.
2. Membayar uang tanda jadi kepada pemasok barang atau bahan
Dalam banyak kasus, penyedia jasa perlu melakukan pembayaran uang tanda jadi atau down payment kepada pemasok barang atau material yang diperlukan untuk proyek.
Dengan adanya uang muka, penyedia dapat segera memenuhi kewajiban pembayaran ini, memastikan pasokan material tetap lancar dan tidak ada penundaan dalam pengiriman barang.
3. Menyelesaikan pekerjaan teknis untuk persiapan pelaksanaan proyek
Uang muka juga dapat digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan teknis awal yang diperlukan sebelum memulai konstruksi secara penuh.
Pekerjaan ini dapat meliputi survei lokasi, pembuatan rancangan teknis, hingga pembuatan fondasi awal yang semuanya krusial untuk kesuksesan proyek.
Ketentuan Besaran Uang Muka Berdasarkan Nilai Kontrak
Besaran uang muka yang diberikan dalam pekerjaan konstruksi diatur secara rinci berdasarkan nilai kontrak proyek.
Hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan kebutuhan pendanaan awal penyedia jasa dengan risiko keuangan yang harus ditanggung oleh pemberi kerja.
Nah, oleh karenanya dalam Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No. 12 Tahun 2021, telah ditetapkan ketentuan persentase uang muka yang dapat diberikan kepada penyedia jasa konstruksi berdasarkan nilai kontrak proyek.
Berikut adalah rincian besaran uang muka berdasarkan kategori nilai kontrak:
1. Kontrak di atas Rp50.000.000 hingga Rp200.000.000
Untuk proyek dengan nilai kontrak minimal Rp50 juta hingga maksimal Rp200 juta, penyedia jasa berhak mendapatkan uang muka minimal sebesar 50% dari nilai kontrak.
Ketentuan ini berlaku terutama untuk usaha kecil, di mana likuiditas awal yang tinggi diperlukan untuk memulai pekerjaan dengan baik.
Dukungan uang muka yang lebih besar ini bertujuan membantu usaha kecil dalam melakukan mobilisasi awal, seperti pembelian material, penyediaan tenaga kerja, dan pengaturan logistik.
2. Kontrak di atas Rp200.000.000 hingga Rp2.500.000.000
Untuk proyek dengan nilai kontrak di atas Rp200 juta hingga Rp2,5 miliar, besaran uang muka yang dapat diberikan minimal 30% dari nilai kontrak.
Pada tingkatan ini, usaha konstruksi berskala menengah dapat memperoleh pendanaan awal yang cukup untuk memulai proyek dengan lancar.
3. Kontrak di atas Rp2.500.000.000 hingga Rp15.000.000.000
Untuk proyek konstruksi dengan nilai kontrak di atas Rp2,5 miliar hingga maksimal Rp15 miliar, uang muka yang dapat diberikan kepada penyedia adalah paling tinggi 30% dari nilai kontrak.
Pada skala proyek yang lebih besar ini, uang muka tetap penting untuk mendukung persiapan, namun jumlahnya dikontrol lebih ketat untuk memastikan penggunaan dana yang efektif dan sesuai dengan tujuan awal proyek.
4. Kontrak di atas Rp15.000.000.000
Untuk kontrak dengan nilai lebih dari Rp15 miliar, ketentuan yang berlaku adalah pemberian uang muka maksimal 20% dari nilai kontrak.
Proyek dengan nilai kontrak besar biasanya melibatkan penyedia jasa konstruksi berskala besar dan berpengalaman yang memiliki akses ke sumber daya keuangan yang lebih baik.
Oleh karena itu, besaran uang muka yang lebih kecil dipandang memadai untuk mendukung persiapan proyek awal tanpa memberikan beban risiko finansial yang terlalu besar kepada pemberi kerja.
5. Kontrak Tahun Jamak
Untuk proyek dengan kontrak tahun jamak, yakni proyek yang berlangsung dalam beberapa tahun anggaran, besaran uang muka yang diberikan paling tinggi 15% dari nilai kontrak.
Pengaturan ini dirancang untuk mengakomodasi sifat proyek yang jangka panjang, di mana pencairan dana dan pelaksanaan pekerjaan berlangsung dalam beberapa tahap.
Pemberian uang muka yang lebih kecil memastikan penggunaan dana yang lebih bijak dan bertahap.
Setiap pemberian uang muka dalam pekerjaan konstruksi harus disertai dengan jaminan uang muka yang nilainya sama dengan jumlah uang muka yang diberikan.
Jaminan uang muka ini berfungsi sebagai perlindungan bagi pemberi kerja jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti keterlambatan pelaksanaan pekerjaan atau ketidakmampuan penyedia jasa untuk melanjutkan proyek.
Contoh Penerapan Ketentuan Besaran Uang Muka
Sebagai contoh, jika nilai kontrak suatu proyek konstruksi adalah Rp10 miliar, maka berdasarkan peraturan LKPP No. 12 Tahun 2021, uang muka maksimal yang dapat diberikan kepada penyedia jasa adalah 30% dari nilai kontrak, atau sekitar Rp3 miliar.
Namun, jumlah yang diajukan oleh penyedia jasa harus disesuaikan dengan kebutuhan persiapan pekerjaan yang realistis dan rinci, misalnya untuk pembelian bahan, tenaga kerja, atau penyewaan alat.
Dalam hal ini, penyedia jasa mungkin hanya memerlukan Rp1 miliar untuk persiapan awal.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kemudian akan mengevaluasi kelayakan permohonan tersebut dan menetapkan besaran uang muka yang sesuai dengan kebutuhan proyek.
Setelah itu, penyedia jasa harus menyerahkan jaminan uang muka sesuai dengan jumlah yang disetujui.
Baca juga: Cara Mengurus Uang Muka Proyek
Pajak Penghasilan (PPh) pada Pembayaran Uang Muka dalam Pekerjaan Konstruksi
Pembayaran uang muka tidak hanya melibatkan transfer dana, tetapi juga harus memperhitungkan kewajiban pajak yang berlaku. Salah satu kewajiban tersebut adalah pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final, sesuai dengan ketentuan perpajakan di Indonesia.
Pajak Penghasilan (PPh) atas jasa konstruksi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
Dalam peraturan ini, dinyatakan bahwa setiap penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan pajak yang bersifat final.
Artinya, PPh yang dipotong dari penghasilan jasa konstruksi bersifat langsung, tanpa perlu memperhitungkan biaya-biaya lain yang terkait dengan pelaksanaan proyek.
1. Waktu Pemotongan PPh
Sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008, PPh dipotong pada saat pembayaran dilakukan, termasuk pembayaran uang muka.
Dalam hal ini, instansi pemerintah atau pihak yang memberikan pekerjaan (Pengguna Jasa) wajib memotong PPh final pada saat pembayaran uang muka kepada Penyedia Jasa Konstruksi.
Jadi, PPh tidak hanya dipotong pada saat pembayaran termin atau penyelesaian pekerjaan, tetapi juga ketika uang muka diserahkan di awal proyek.
Ada dua kemungkinan pihak yang dapat memotong PPh:
a. Pemotongan oleh Pengguna Jasa
Jika Pengguna Jasa merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan pemotongan pajak, maka Pengguna Jasa akan langsung memotong PPh final pada saat pembayaran uang muka dan menyetorkannya ke kas negara.
Ini adalah skenario yang paling umum dalam proyek-proyek konstruksi yang dibiayai oleh pemerintah atau perusahaan besar yang sudah ditunjuk sebagai pemotong pajak.
b. Penyetoran oleh Penyedia Jasa
Dalam situasi di mana Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak, maka kewajiban untuk menyetorkan PPh final menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa.
Penyedia Jasa harus secara mandiri menyetor PPh yang terutang berdasarkan pembayaran uang muka yang diterima.
2. Tarif PPh pada Jasa Konstruksi
Tarif PPh final untuk jasa konstruksi ditentukan berdasarkan jenis usaha dan kualifikasi dari Penyedia Jasa Konstruksi.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008 merinci tarif PPh yang dikenakan atas penghasilan dari pelaksanaan jasa konstruksi sebagai berikut:
- Tarif 2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil.
- Tarif 4% untuk pelaksanaan konstruksi oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
- Tarif 3% untuk pelaksanaan konstruksi oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi menengah atau besar, selain yang termasuk dalam kategori usaha kecil.
- Tarif 4% untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha.
- Tarif 6% untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
3. Contoh Pemotongan PPh pada Pembayaran Uang Muka
Sebagai contoh, jika terdapat sebuah proyek konstruksi dengan nilai kontrak sebesar Rp10 miliar dan penyedia jasa konstruksi yang terlibat adalah usaha kecil, maka uang muka yang diberikan adalah 30% dari nilai kontrak, yakni Rp3 miliar.
Pada saat pemberian uang muka, Pengguna Jasa wajib memotong PPh sebesar 2% sesuai dengan ketentuan untuk usaha kecil. Maka, perhitungannya adalah sebagai berikut:
Nilai uang muka: Rp3.000.000.000
Tarif PPh final: 2%
PPh yang dipotong: Rp3.000.000.000 x 2% = Rp60.000.000
Jadi, pada saat pembayaran uang muka sebesar Rp3 miliar, Pengguna Jasa akan memotong PPh sebesar Rp60 juta dan menyetorkan PPh tersebut kepada otoritas pajak.
Sisa uang muka yang diterima Penyedia Jasa adalah Rp2,94 miliar setelah dipotong PPh final.
0 Response to "Uang Muka Pekerjaan Konstruksi: Fungsi, Menghitung Besaran, Dan Pajak PPh"
Posting Komentar